Jumat, 30 Maret 2012

ABSTRAK

Khumaidi, Aan. 2012. ”Faktor Pendorong Kemenangan Incumbent dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Kabupaten Rembang Tahun 2010 (Studi Kasus: Kemenangan Pasangan H. Moch Salim-H Abdul Hafidz)”. Skripsi. Jurusan Ilmu Politik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang. Pembimbing Agus Riyanto, S.IP, M.Si. 115 hlm.

Kata Kunci: Pilkada, Political Capital, Social Capital, dan Economical Capital

       Kasus korupsi yang menjerat seorang kandidat bupati/ wakil bupati dewasa ini, tidak mampu mengurungkan kemenangan calon dalam kontestasi Pilkada. Hal ini terbukti terutama tercermin dalam kasus kemenangan H. Moch Salim-Abdul Hafidz dalam Pilkada Kabupaten Rembang 2010. Kendati H. Moch Salim menjadi tersangka korupsi APBD untuk penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya (RBSJ), sebesar Rp. 5,2 miliyar sejak 2009 lalu, namun dirinya mampu memenangi pertarungan Pilkada Rembang dengan perolehan 56,1% suara.
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong kemenangan H. Moch Salim sebagai Bupati Rembang periode 2011-2015, dilakukan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Data primernya berbentuk laporan KPUD Rembang dan hasil riset dari tim sukses. Sedangkan data sekundernya berupa buku—buku referensi yang mengkaji tentang kemenangan calon bupati/ wakil bupati. Adapun, pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.
            Faktor-faktor yang mendorong kemenangan pasangan H. Moch Salim antara lain, (1) Modal Politik (political capital), yakni modal dasar berupa partai politik dan kekuatan basis massa; (2) Modal Sosial (social capital), berupa ketokohan dan popularitas yang dimilikinya sehingga berdampak pada kepercayaan masyarakat, diantaranya adalah: (a) Kesiapan tim pemenangan (tim sukses), berupa kesiapan materi, baik untuk menunjang kebutuhan pendanaan maupun materi publikasi dan sosialisasi politik, serta pilihan pada partai politik; (b) Strategi tim pemenangan (tim sukses), berupa pendekatan-pendekatan terhadap calon pemilih dan basis masa, pendekatan terhadap bakal calon pasangannya, pemetaan basis calon pemilih, serta komunikasi dan konsolidasi sebagai wujud penguatan basis massa; dan (c) Propaganda, berupa program empat pilar Kabupaten Rembang terdiri atas: penyediaan dan peningkatan infrastruktur pelayanan publik, program pendidikan SD/MI dan SMP/MTs. gratis yang bermutu, program Jaminan kesehatan Rembang sehat, dan program pengembangan ekonomi Rembang. (3) Modal Ekonomi (economical capital), berupa aset perusahaan dan pendanaan yang dimilikinya sehingga dapat digunakan untuk keperluan biaya kampanye, membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye.


                                                                                                  

Rabu, 29 Februari 2012

Anak

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka dilahirkan melaluimu tapi bukan darimu,
Kau dapat memberi mereka cintamu tapi tidak pikiranmu,
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Kau bisa merumahkan tubuh mereka tapi tidak jiwa mereka,

Karena jiwa mereka tinggal di rumah hari esok, yang tak bisa kau kunjungi, meskipun dalam mimpi.

Kau bisa berusaha menjadi sseperti mereka, tapi jangan coba jadikan mereka sepertimu.
Karena kehidupan tidak berjalan mundur atau berdiam di masa lalu.
Kau adalah busur dari mana diluncurkan anak-anakmu sebagai anak panah yang hidup.
Sang pemanah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu sekaut tenaga supaya anak panah_Nya meluncur cepat dan jauh.
Bersyukurlah dalam tarikan sang pemanah;
Sebab seperti halnya Ia mencintai anak-anak panah yang terbang, Ia juga mencintai busur yang mantap.

Minggu, 12 Februari 2012

Mengamankan dan Melindungi Pancasila

  • Oleh Noor Achmad

UNIVERSITAS Diponegoro (Undip), Sabtu, 11 Februari 2012 menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada Drs KH As’ad Said Ali. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dinilai berjasa dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran kontributif tentang hukum dan Pancasila. Apa makna penganugerahan gelar kehormatan itu? 
Sebagaimana pemikiran Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (2006: 52), Pancasila dalam sistem ketatanegaraan kita semestinya dipandang sebagai dasar negara sekaligus ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung makna yuridis kuat sebagai norma dasar (grundnorm), dan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis harus bersumber padanya. 

Karena itu, Pancasila harus menjadi rechtsidee yang di dalamnya terdapat  nilai dasar, kerangka berpikir, orientasi, dan cita-cita oleh para penyelenggara negara dan masyarakat dalam berhukum.  Adapun sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan tata nilai yang dianut yang di dalamnya terdapat cita-cita dasar dalam kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Dalam makna ini, Pancasila ditempatkan sebagai weltanschauung (pandangan hidup).

Persoalannya, Pancasila tengah menghadapi tantangan besar sehingga bermuara pada krisis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rentetan peristiwa pengeboman, terorisme, aksi-aksi yang ingin mengganti ideologi resmi negara hingga kikisnya nasionalisme, seperti kasus guru dan siswa yang enggan menghormat bendera Merah Putih terjadi. Selain itu, pertikaian berbasis agama dan etnis, perebutan  aset dan sumber daya ekonomi, peminggiran ekonomi kerakyatan, hingga penyelewengan praktik penyelenggaraan negara seperti korupsi juga merajalela. 

Sesuai dengan aktivitas dan kompetensinya, KH As’ad Said Ali secara berkelanjutan telah lama berkhidmah dan menyampaikan pemikiran kontributifnya tentang Pancasila. Salah satu gagasan cerdasnya terekam dalam buku Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009). Rencananya, Sabtu besok ia akan menyampaikan pidato penerimaan gelar itu dengan judul ’’Tinjauan Yuridis terhadap Sarana Hukum sebagai Pengaman Ideologi dan Dasar Negara’’.

Ideologi Terbuka

Beberapa pemikiran menariknya antara lain; pertama; sebagai dasar dan ideologi negara Pancasila belum ditempatkan secara proporsional dalam sistem ketatanegaraan. Hingga kini memang belum ada ketentuan bagaimana ideologi negara ini harus dioperasionalkan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, serta bagaimana ideologi ini ditempatkan di tengah percaturan ideologi besar di Indonesia. 

Maka domain utama Pancasila harus berada di dalam ruang publik; ruang tempat masing-masing kelompok masyarakat yang sangat beragam itu dapat berinteraksi dan berhubungan demi memenuhi kebutuhan bersifat kolektif kebangsaan-kenegaraan. Di dalam ruang tersebut mutlak berlaku nilai-nilai Pancasila. 

Kedua; Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 belum mendapatkan proteksi yang optimal dari segi peraturan perundangan. Yang ada hingga sekarang hanya Tap MPR XXV/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999. Kedua peraturan perundangan ini terlihat belum memadai dalam mengantisipasi merebaknya gerakan-gerakan yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 1945. Maka diperlukan kriminalisasi atas perbuatan yang bertujuan mengganti ideologi negara secara lebih jelas, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Ketiga; melindungi dan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara harus pula meletakkan dalam kerangka besarnya, yaitu keamanan negara (state security) atau keamanan nasional (national security). Terkait di dalamnya bukan hanya soal kriminalisasi perbuatan yang mengganggu ideologi negara, pengaturan terhadap aktivitas masyarakat dalam bentuk partai politik dan ormas, kriminalisasi terhadap perbuatan yang mengancam keselamatan masyarakat secara keseluruhan seperti terorisme, melainkan juga terkait dengan pengaturan tentang TNI, Polri, dan intelijen negara.
            
Dalam keseluruhan konteks tersebut maka apa yang dilakukan Undip hakikatnya sarat makna. Pertama; penganugerahan gelar di bidang hukum dan Pancasila ini menarik dan mendorong kembali terbukanya kontestasi pemikiran tentang Pancasila. Jika pada era Orde Baru Pancasila menjadi ideologi negara yang hegemonik-monopolistis dengan tafsir tunggal versi penguasa, lalu di era reformasi laksana hilang ditelan bumi karena jarang dibahas, maka ini bisa menjadi keran pembuka agar Pancasila bisa bertransformasi menjadi ideologi yang terbuka dan kompatibel dengan semangat zamannya. 

Kedua; penganugerahan gelar itu menyadarkan kita bahwa pengkajian terhadap Pancasila harus terus dilakukan. Masih banyak ruang kosong yang harus diisi agar nilai-nilai luhur Pancasila bisa dioperasionalkan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Misalnya tentang perlunya pengaturan kebebasan yang lebih jelas dan tepat mengenai aktivitas-aktivitas publik masyarakat, seperti berorganisasi, berkumpul, dan berekspresi.

Tujuannya, bukan untuk membatasi kebebasan-kebebasan fundamental dalam sistem demokrasi itu melainkan mencegah digunakannya kebebasan itu untuk mengganggu keamanan negara dan masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang Partai Politik, UU Organisasi Masyarakat, dan UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum di dalamnya seharusnya memuat prevensi terhadap tindakan yang mengganggu keamanan negara atau mengancam ideologi negara itu. 

Terakhir, terkait dengan globalisasi dan dinamika tantangan domestik, alangkah baiknya jika studi dan upaya sungguh-sungguh dalam mengamalkan Pancasila menjadi bagian yang terus dilakukan demi terus tegaknya NKRI yang sejahtera, adil, dan makmur. (10)

— Dr H Noor Achmad MA, Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Wasekjen MUI Pusat (/) 
(dikutip dari Suara Merdeka pada 11 Februari 2012)